Selasa, 20 Maret 2012

Madzhab Sejarah


Madzhab Sejarah
Nasri, SH., MH

A. Awal Lahirnya Mazhab Sejarah

Abad kesembilan belas merupakan masa keemasan bagi lahirnya ide-ide baru dan gerakan intelaktual dimana manusia mulai menyadari kemampuannya untuk merubah keadaan dalam semua lapangan kehidupan. Kesadaran tersebut telah membawa perubahan cara pandang dalam melihat eksistensi manusia[7]. Pada masa ini manusia dipandang sebagai wujud dinamis yang senantiasa berkembang dalam lintasan sejarah[8].

Dibidang hukum, abad kesembilan belas dapat dikatakan sebagai tonggak lahirnya berbagai macam aliran atau mazhab hukum yang pengaruhnya bisa dirasakan sampai saat ini. Aliran atau mazhab hukum yang lahir pada masa ini secara sederhana dapat diklasifikasi menjadi tiga aliran yaitu[9] : mazhab positivisme[10], mazhab utilitarianisme[11] dan mazhab historis atau sejarah.

Dalam rentang sejarah, perkembangan aliran pemikiran hukum sangat tergantung dari aliran pemikiran hukum sebelumnya, sebagai sandaran kritik dalam rangka membangun kerangka teoritik berikutnya. Disamping itu kelahiran satu aliran sangat terkait dengan kondisi lingkungan tempat suatu aliran itu pertama kali muncul. Dengan kata lain lahirnya satu aliran atau mazhab hukum dapat dikatakan sebagai jawaban fundamental terhadap kondisi kekinian pada zamannya[12]. Sebagai contoh dapat dikemukakan kritik positivisme dan aliran sejarah terhadap aliran hukum alam atau kritik kaum realis terhadap positivistik. Demikian juga halnya dengan kritik yang ditujukan oleh postmodernisme terhadap kemapanan modernisme[13].

Kelahiran mazhab sejarah dipelopori oleh Friedrich Carl von Savigny (1779-1861)[14] melalui tulisannya yang berjudul Von Beruf unserer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtwissenschaft (Tentang Pekerjaan pada Zaman Kita di Bidang Perundang-undangan dan Ilmu Hukum)[15], di pengaruhi oleh dua faktor yaitu pertama ajaran Montesqueu dalam bukunya “L’ esprit des Lois” dan pengaruh faham nasionalisme yang mulai timbul pada awal abad ke 19. Disamping itu, munculnya aliran ini juga merupakan reaksi langsung dari pendapat Thibaut yang menghendaki adanya kodifikasi hukum perdata Jerman yang didasarkan pada hukum Prancis (Code Napoleon). Kedua pengaruh tersebut bisa digambarkan sebagai berikut[16]:

Menurut Friedmann Aliran ini juga memberikan aksi tertentu terhadap dua kekuatan besar yang berkuasa pada zamannya. Kedua hal tersebut menurut Friedmann adalah[17] :

1) Rasionalisme dari abad 18 dengan kepercayaan terhadap hukum alam, kekuasaan akal dan prinsip-prinsip pertama yang semuanya dikombinasikan untuk meletakkan suatu teori hukum dengan cara deduksi dan tanpa memandang fakta historis, cirri khas nasional, dan kondisi sosial;

2) Kepercayaan dan semangat revolusi Prancis dengan pemberontakannya terhadap tradisi, kepercayaan pada akal dan kekuasaan kehendak manusia atas keadaan-keadaan zamannya.

Sedangkan Lili Rasjidi mengatakan kelahiran alairan/mazhab sejarah merupakan reaksi tidak lansung dari terhadap aliran hukum alam dan aliran hukum positif[18].

Hal pertama yang mempengaruhi lahirnya mazhab sejarah adalah pemikran Montesqueu dalam bukunya “L’ esprit des Lois” yang mengatakan tentang adanya keterkaitan antara jiwa suatu bangsa dengan hukumnya[19].

Menurut W. Friedman gagasan yang benar-benar penting dari L’esprit des Lois adalah tesis bahwa hukum walaupun secara samar didasarkan atas beberapa prinsip hukum alam mesti dipengaruhi oleh lingkungan dan keadaan seperti: iklim, tanah, agama, adat-kebiasaan, perdagangan dan lain sebagainya[20]. Berangkat dari ide tersebut Montesqueu kemudian melakukan studi perbandingan mengenai undang-undang dan pemerintahan[21].

Seperti yang telah diuraikan diatas, selain dipengaruhi oleh pemikiran Montesque lahirnya mazhab sejarah juga banyak dipengaruhi oleh semangat nasionalisme Jerman yang mulai muncul pada awal abad 19. Dengan memanfaatkan moment (semangat nasionalisme), Savigny menyarankan penolakan terhadap gagasan Tibhaut tentang kodifikasi hukum yang tersebar dalam pamfletnya “Uber Die Notwetdigkeit Eines Allgemeinen Burgerlichen Rechts Fur Deutschland” (Keperluan akan adanya kodefikasi hukum perdata negara Jerman)[22].

Dalam suasana demikian, Savigny mendapatkan “Lahan subur” untuk membumikan ajarannya yang mengatakan bahwa ‘hukum itu tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Dan oleh karenanya setiap bangsa memiliki “volgeist” (jiwa rakyat) yang berbeda, maka hukum suatu negara tidak dapat diterapkan bagi negara lain, meskipun negara lain itu adalah bekas penjajahnya. Dalam kaitan inilah kemudian Savigny mengatakan, adalah tidak masuk akal jika terdapat hukum yang berlaku universal pada semua waktu. Hukum yang sangat tergantung atau bersumber kepada jiwa rakyat tersebut dan yang menjadi isi dari hukum itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa (sejarah)[23].

B. Inti Ajaran Mazhab Historis

Inti ajaran Madzab Sejarah yang didirikan oleh Savigny ini terdapat dalam bukunya ‘von Beruf Ungerer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtswissenschaft (Tentang Tugas Zaman Kita Bagi Pembentuk Undang-undang dan Ilmu Hukum). antara lain dikatakan[24]:

‘Das Recht wird nicht gemacht. est ist und wird mit dem volke (Hukum itu tidak dibuat. tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat)

Ajaran Savigny tersebut dilatarbelakangi oleh suatu pandangannya yang mengatakan bahwa didunia ini terdapat banyak bangsa dan pada tiap bangsa mempunyai Volkgeist /jiwa rakyat. Perbedaan ini juga sudah barang tentu berdampak pada perbedaan hukum yang disesuaikan dengan tempat dan waktu. Hukum sangat bergantung atau bersumber pada jiwa rakyat dan isi hukum itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa.

Hukum menurut pendapat Savigny berkembang dari suatu masyarakat yang sederhana yang pencerminannya tampak dalam tingkah laku semua individu kepada masyarakat yang modern dan kompleks dimana kesadaran hukum rakyat itu tampak pada apa yang diucapkan oleh para ahli hukumnya[25].

Pokok-pokok ajaran madzab historis yang diuraikan Savigny dan beberapa pengikutnya dapat disimpulkan sebagai berikut [26]:

1. Hukum ditemukan tidak dibuat[27]. Pertumbuhan hukum pada dasarnya adalah proses yang tidak disadari dan organis;oleh karena itu perundang-undangan adalah kurang penting dibandingkan dengan adat kebiasaan.

2. Karena hukum berkembang dari hubungan-hubungan hukum yang mudah dipahami dalam masyarakat primitif ke hukum yang lebih kompleks dalam peradaban modern kesadaran umum tidak dapat lebih lama lagi menonjolkan dirinya secara langsung, tetapi disajikan oleh para ahli hukum yang merumuskan prinsip-prinsip hukum secara teknis. Tetapi ahli hukum tetap merupakan suatu organ dari kesadaran umum terikat pada tugas untuk memberi bentuk pada apa yang ia temukan sebagai bahan mentah (Kesadaran umum ini tampaknya oleh Scholten disebut sebagai kesadaran hukum). Perundang-undangan menyusul pada tingkat akhir; oleh karena ahli hukum sebagai pembuat undang-undang relatif lebih penting daripada pembuat undang-undang.

3. Undang-undang tidak dapat berlaku atau diterapkan secara universal. Setiap masyarakat mengembangkan kebiasaannya sendiri karena mempunyai bahasa adat-istiadat dan konstitusi yang khas. Savigny menekankan bahwa bahasa dan hukum adalah sejajar juga tidak dapat diterapkan pada masyarakat lain dan daerah-daerah lain. Volkgeist dapat dilihat dalam hukumnya oleh karena itu sangat penting untuk mengikuti evolusi volkgeist melalui penelitian hukum sepanjang sejarah.
Dalam perkembangannya, mazhab sejarah ini mengalami modifikasi oleh pengikutnya Maine mengetengahkan teorinya yang mengatakan bahwa hukum berkembang dari bentuk status ke kontrak, sejalan dengan perkembangan masyarakat dari sederhana ke masyarakat kompleks dan modern[29]. Pada masyarakat modern hubungan antara para anggota masyarakat dilakukan atas dasar sistem hak dan kewajiban yang tertuang dalam bentuk suatu kontrak yang dibuat secara sadar dan sukarela oleh pihak-pihak yang berkenaan.

Dengan demikian, Maine sebenarnya tidak menerima konsep Volkgeist Savigny yang dianggapnya sebagai suatu konsep yang diselibungi mistik. Maine justru mengembangkan suatu tesis yang mengatakan bahwa perjalanan masyarakat menjadi progresif disitu terlihat adanya perkembangan situasi yang ditentukan oleh status kepada pengguna kontrak[30]

Selanjutnya Maine mengatakan tentang adanya masyarakat yang statis dan progresif. Masyarakat yang statis adalah masyarakat yang mampu mengembangkan hukum sendiri melalui melalui 3 cara, yaitu: fiksi, equity, dan perundang-undangan[31]. Pandangan terakhir inilah yang oleh beberapa penulis hukum digunakan untuk membedakan Maine dengan Savigny. Tampaknya Maine tidak mengesampingkan peranan perundangan dan kodefikasi dalam pengembangan hukum pada masyarakat yang telah maju[32] .
C. Pengaruh Aliran Historis Dalam Konteks Indonesia

Banyak teori yang dimunculkan oleh ahli hukum untuk mencoba menemukan dan menggagas ide tentang pengembanan hukum termasuk didalamnya pembentukan atau pembaharuan hukum. Masing-masing teori berupaya mengajukan argumentasi atas pendapatnya dengan menonjolkan keunggulan dari teori yang telah mereka bangun. Biasanya suatu teori lahir sebagai akibat atau reaksi terhadap teori yang mendahuluinya. Reaksi tersebut bisa berupa penolakan dan bisa juga justru memberikan dasar pijakan yang lebih kuat terhadap teori sebelumnya[33].

Kelebihan pemikiran hukum dari madzab sejarah adalah sikap tegas yang mengatakan bahwa hukum itu merupakan derivasi nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat. Dalam kaitan itu dapat diasumsikan bahwa hukum yang demikian akan mempunyai daya berlaku sosiologis. Oleh karena hukum pasti sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Tegasnya, satu-satunya sumber hukum menurut madzab ini adalah kesadaran hukum suatu bangsa[34]. Selanjutnya, kebaikan madzab ini adalah ditempatkannya kedudukan hukum kebiasaan sejajar dengan undang-undang tertulis[35]. Sikap semacam ini dapat mencegah kepicikan orang akan wujud hukum yang utuh.

Di Indonesia pengaruh ajaran madzab sejarah sangat dirasakan, yakni dengan lahirnya cabang ilmu hukum baru yang dikenal sebagai hukum adat, yang dipelopori oleh Van Vollenhoven, Ter Haar serta tokoh-tokoh hukum adat lainnya. Demikian juga bagi para ahli sosiologi, saran Savigny memperteguh keyakinan mereka bahwa antara sistem hukum dan sistem sosial lainnya terdapat hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Keyakinan semacam itu akan menghasilkan suatu produk hukum yang akan memiliki daya berlaku sosiologis.

Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa bagi Indonesia, pemikiran dan sikap madzab ini terhadap hukum telah memainkan peranan yang penting dalam mempertahankan (” preservation”) hukum adat sebagai pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan (asli) penduduk pribumi dan mencegah terjadinya “pembaratan” (westernisasi) yang terlalu cepat, kalau tidak hendak dikatakan berhasil mencegahnya samasekali, kecuali bagi sebagian kecil golongan pribumi[36].

Dalam konteks kekinian, lahirnya gerakan pemikiran hukum yang mengarah pada pengoptimalisasian fungsi lembaga mediasi yang ada dilevel masyarakat grass root secara tidak langsung dapat dikatakan sebagai pengaruh tidak langsung mazhab sejarah bagi pemikiran hukum di Indonesia. Di Nusa Tenggara Barat gerakan ini mulai diawali di desa Lebah Sempaga dan Desa Bagu yang telah membuat Balai Mediasi Desa yang sudah mengarah kepada penggalian budaya dan kebiasaan masyarakat.

Akan tetapi pemikiran hukum madzab ini juga mengandung beberapa kelemahan yakni[37]:

1. tidak diberikannya tempat bagi ketentuan yang sifatnya tertulis (peraturan perundang-undangan);

2. konsepsinya tentang kesadaran hukum sifatnya sangat abstrak serta konsepsinya tentang jiwa rakyat tidak memuaskan banyak pihak;

3. inkonsistensi sikap mengenai hukum yang terbaik bagi suatu bangsa.

Masing-masing kelemahan tersebut akan diuraiakan sebagai berikut

1. Tidak diberikannya tempat bagi ketentuan yang sifatnya tertulis (peraturan perundang-undangan);

Hukum dalam konsepsi mazhab sejarah adalah kebiasaan tidak tertulis yang hidup ditengah masyarakat sebagai pengejawantahan nilai yang ada pada komunitas mereka. Dengan demikian, satu-satunya sumber hukum menurut madzab ini adalah kesadaran hukum masyarakat. Konkretisasi dari kesadaran hukum tersebut sebagai norma yang mengikat masyarakatnya tampak pada aturan-aturan tidak tertulis[38].

Bagi masyarakat modern dengan kompleksitas permasalahannya, sangat tidak mungkin pengaturan tertib sosial dengan aturan tidak tertulis, apalagi dalam jumlah yang banyak. Jika masyarakat modern (yang jumlahnya tidak sedikit) menggunakan aturan tidak tertulis dalam mengatur kebutuhan dan kepentingan dalam tata pergaulannya pada masyarakat, maka dapat dibayangkan akan tercipta suatu ketidakpastian hukum. 0leh karena, sebagaimana pandangan madzab ini, proses konkretisasi kesadaran umum kesadaran hukum sebagai pedoman dalam melakukan tindakan hukum membutuhkan ahli hukum yang setia sebagai abdi kesadaran umum/kesadaran hukum. Ahli hukum itulah kemudian memformulasikan kesadaran umum/kesadaran hukum yang diamatinya menjadi aturan-aturan tidak tertulis itu. Oleh karena itu, apa yang menjadi ucapan ahli hukum dianggap terjemahan dari jiwa masyarakat[39].

2. Konsepsinya tentang kesadaran hukum sifatnya sangat abstrak serta konsepsinya tentang jiwa rakyat tidak memuaskan banyak pihak;

Menurut pandangan madzab sejarah kesadaran hukum masyarakat bukanlah merupakan pertimbangan rasional. tetapi berkembang dan dipengaruhi oleh pelbagai faktor, yaitu agama, ekonomi, politik, dan sebagainya. Pandangan ini selalu berubah. oleh karena itu hukum pun selalu tidak sama (namun, bukan karena mengalami perubahan). Konsekuensinya. tidak ada ukuran tentang isi hukum yang berlaku obyektif yang dapat diterima setiap orang secara ilmiah[40].

Selanjutnya ajaran savigny mengenai fungsi dan perkembangan hukum terkait dengan konsep jiwa masyarakat dalam madzab ini tidak dapat menunjukkan secara jelas bagaimana isi dan ruang lingkupnya. sehingga amat sulit melihat fungsi dan perkembangannya sebagai sumber utama hukum menurut madzab ini[41].

3. Inkonsistensi sikap mengenai hukum yang terbaik bagi suatu bangsa.

Savigny menyebutkan bahwa hukum yang baik adalah yang bersumber dari jiwa rakyat tetapi dalam sebuah tulisannya yang lain, yang membahas tentang Hukum Romawi, dia mengatakan bahwa Hukum Romawi merupakan hukum terbaik[42] Studi Savigny yang mendalam atas Hukum Romawi menjelaskan pada dirinya bahwa perkembangan Hukum Romawi merupakan contoh penuntun hukum yang bijaksana yang membentuk hukum melalui adaptasi bertahap bagi zaman-zaman sebelum “corpus yuris” membentuk kodefikasi yang final[43]

Ada dua hal yang tersirat dari uraian di atas, yakni[44]:

a. ketidakjelasan makna dan fungsi jiwa rakyat;

b. kodefikasi merupakan “tindakan final” dari suatu upaya memformulasikan hukum, yang berarti akhirnya, sikap anti anti Savigny terhadap kodefikasi tampaknya sudah diperluwes.



III. Penutup

A. Kesimpulan

1) Ada dua faktor utama lahirnya mazhab sejarah yaitu ajaran Montesqueu dalam bukunya “L’ esprit des Lois” dan pengaruh faham nasionalisme yang mulai timbul pada awal abad ke 19. Di sisi lain lahirnya mazhab ini juga memberikan aksi terhadap dua hal yang pada awal kemunculannya merupakan moment strategis bagi perkembangan mazhab ini selanjutnya yaitu 1) Rasionalisme dari abad 18 dengan kepercayaan terhadap hukum alam, kekuasaan akal dan prinsip-prinsip pertama yang semuanya dikombinasikan untuk meletakkan suatu teori hukum dengan cara deduksi dan tanpa memandang fakta historis, cirri khas nasional, dan kondisi sosial; 2)Kepercayaan dan semangat revolusi Prancis dengan pemberontakannya terhadap tradisi, kepercayaan pada akal dan kekuasaan kehendak manusia atas keadaan-keadaan zamannya.

2) Di Indonesia pengaruh ajaran madzab sejarah sangat dirasakan, yakni dengan lahirnya cabang ilmu hukum baru yang dikenal sebagai hukum adat, yang dipelopori oleh Van Vollenhoven, Ter Haar serta tokoh-tokoh hukum adat lainnya. Demikian juga bagi para ahli sosiologi, saran Savigny memperteguh keyakinan mereka bahwa antara sistem hukum dan sistem sosial lainnya terdapat hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Keyakinan semacam itu akan menghasilkan suatu produk hukum yang akan memiliki daya berlaku sosiologis. bagi Indonesia, pemikiran dan sikap madzab ini terhadap hukum telah memainkan peranan yang penting dalam mempertahankan (” preservation”) hukum adat sebagai pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan (asli) penduduk pribumi dan mencegah terjadinya “pembaratan” (westernisasi) yang terlalu cepat, kalau tidak hendak dikatakan berhasil mencegahnya samasekali, kecuali bagi sebagian kecil golongan pribumi.

Daftar Pustaka

Salman, Otje & Antoni F. Susanto, Teori Hukum : Mengingat, Mengumpulkan dan Menemukan Kembali, (Bandung, Refika Aditama, 2007)

Khairurrofiq, M. Refleksi dan relevansi Mazhab-mazhab Hukum Dalam Pngembangan Ilmu hukum http://dialektikakeriting.blogspot.com/2008/01/relevansi-madzhab-hukum-bagi.html

Friedmann, W. Legal Theory, alih bahsa Mohammad Arifin, Teori dan Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis dan Problem Keadilan, cet. I (Jakarta, CV. Rajawali, 1990)

Dimyati, Khudzaifah. Dinamika Pemikiran Hukum : Orientasi dan Karateristik Pemikiran expertise Hukum Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 2, September 2005. hlm. 136

Rasjidi, Lili. Dasar-dasar Filsafat Hukum, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996),

____________ Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung Citra Aditya Bakti, 2007),

____________ Filsafat Hukum Apakah Hukum Itu, Cet. 5 (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1996)

Huijbers, Theo. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Bandung, Kanisius, 1982),

Zulkarnain, Kritik Terhadap Pemikiran Hukum Madzab Sejarah, Digitized by USU digital library, 2003

Shidarta, Posmodernisme dan Ilmu Hukum, Makalah disampaikan pada acara seminar tentang Posmodernisme dan Dampaknya terhadap Ilmu Pengetahuan” dan peluncuran buku memperingati 70 Tahun Prof. Dr. Ir. Dali Santun Naga, MMSI di Kampus Universitas Tarumanagara, 17 Februari 2005.

Simarmata, Rikardo. Socio-legal Studies dan Gerakan Pembaharuan Hukum, Law, Society & Development, Volume I Desember 2006-Maret 2007

Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1991)

Rengka, Frans. Reformasi Hukum dan Reformasi Pendidikan Hukum, dalam http://www.indomedia.com/poskup/9805/26/OPINI/26pini1.htm

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Cet. II (Yogyakarta, Liberty,1986),

* Makalah ini merupakan tugas kelompok dalam mata kuliah Teori Hukum pada program Magister Ilmu Hukum Universitas Mataram, yang diasuh oleh Dr. Anag Husni, makalah dipresentasikan pada tanggal 31 Maret 2008

[1] Otje Salman dan Antoni F. Susanto, Teori Hukum : Mengingat, Mengumpulkan dan Menemukan Kembali, (Bandung, Refika Aditama, 2007), hlm. 45

[2] M.Khairurrofiq,Refleksi dan relevansi Mazhab-mazhab Hukum Dalam Pngembangan Ilmu hukum http://dialektikakeriting.blogspot.com/2008/01/relevansi-madzhab-hukum-bagi.html

[3] Ada adugium menarik yang biasa digunakan oleh ahli hukum untuk menjustifakisi perbedaan pendapat yang sering terjadi diantara mereka. Adagium itu berbunyi “Bila sepuluh orang pakar hukum berkumpul dan membicarakan batasan pengertian mengenai hukum, maka akan keluar sebelas batasan pengertian”

[4] H. L. Syafruddin, , hasil diskusi pada kuliah Sejarah dan Politik Hukum Program Magister Ilmu Hukum Universitas Mataram 2008

[5] W. Friedmann, Legal Teori, alih bahsa Mohammad Arifin, Teori dan Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis dan Problem Keadilan, cet. I (Jakarta, CV. Rajawali, 1990), hlm. 60

[6] Khudzaifah Dimyati, Dinamika Pemikiran Hukum : Orientasi dan Karateristik Pemikiran expertise Hukum Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 2, September 2005. hlm. 136

[7] Sebelum abad kesembilan belas, pada masa jayanya aliran hukum alam manusia dianggap tidak bisa membuat perubahan terhadap kondisi sosialnya terutama dibidang hukum. Menurut Fransisco Suarez Tuhan adalah pencipta hukum alam yang berlaku di semua tempat dan waktu, manusia berdasarkan risionya hanya menjalankan apa yang sudah ditentukan oleh Tuhan dan dengan demikian manusia tidak bisa merubah apa yang sudah menjadi kehendak Tuhan. Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 52

[8] Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Bandung, Kanisius, 1982), hlm. 103

[9] Zulkarnain, Kritik Terhadap Pemikiran Hukum Madzab Sejarah, Digitized by USU digital library, 2003, hlm. 1

[10] Aliran ini mengidentikkan hukum dengan undang-undang.satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. Di Jerman aliran ini dipertahankan oleh tokoh-tokoh seperti Paul Laband, Jellinek, Rudolf Von Jehring, Hans Nawiasky, dan Hans Kelsen. Sedangkan di Inggris aliran ini didukung oleh John Austin dengan analytical Jurisprudencenya. Menurut Austin hukum adalah merupakan perintah dari penguasa (law is a command of the lawgiver)

[11] Tokoh utama aliran utilitarianisme ini adalah Jeremy Bentham, John Stuart Mill dan Von Jhering. Aliran ini, terutama Bentham mendasarkan filsafatnya pada asas kemanfaatan. Menurutnya setiap tindakan manusia pada hakekatnya bertujuan untuk mendatangkan kebahagiaan dan mengurangi penderitaan. Berangkat dari cara berpikir seperti ini maka ukuran baik buruknya suatu perbuatan tergantung dari seberapa besar kebahagiaan yang didatangkan oleh perbuatan tadi. Demikian juga dengan hukum, perundang-undangan yang baik harus mampu menjamin terpenuhinya kebahagian.

[12] Zulkarnaen, Op.Cit., hlm. 1

[13] Otje Salman Op.Cit. hlm 2. bandingkan dengan Shidarta, Posmodernisme dan Ilmu Hukum, Makalah disampaikan pada acara seminar tentang Posmodernisme dan Dampaknya terhadap Ilmu Pengetahuan” dan peluncuran buku memperingati 70 Tahun Prof. Dr. Ir. Dali Santun Naga, MMSI di Kampus Universitas Tarumanagara, 17 Februari 2005. hlm. 3

[14] Salah seorang ahli sosiologi hukum Ehrlich berkebangsaan Austria yang juga merupakan murid dari Savigny digolongkan sebagai salah satu tokoh mazhab sociological jurisprudence, di anggap memiliki pandangan yang sama dengan Savigny dikarenakan telah memperkenalkan konsep living law, namun demikian tidak ada ahli hukum yang berani menyimpulkan bahwa pemikiran Ehrlich memang dipengaruhi oleh gagasan Savigny. Sama seperti Savigny, Ehrlich tidak melihat hukum sebagai suatu aturan yang berada di luar anggota-anggota masyarakat, melainkan diwujudkan dan diungkapkan dalam kelakuan mereka sendiri. Hukum lahir dari rahim kesadaran masyarakat akan kebutuhannya (opinio necessitates). Lihat Rikardo Simarmata Socio-legal Studies dan Gerakan Pembaharuan Hukum, Law, Society & Development, Volume I Desember 2006-Maret 2007

[15] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 277. bandingkan dengan Teo Huijbers, Op.Cit., hlm 118

[16] Zulkarnaen, Op.Cit., hlm. 2

[17] W. Friedmann, Op.Cit., hlm. 60

[18] Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 64-65.

[19] Lili Rasjidi, Op.Cit., hlm. 64. Lihat juga Frans Rengka, Reformasi Hukum dan Reformasi Pendidikan Hukum, dalam http://www.indomedia.com/poskup/9805/26/OPINI/26pini1.htm

[20] Zulkarnaen, Op.Cit., hlm 2

[21] Gagasan Montesquieu tentang sistem hukum merupakan hasil dari kompleksitas berbagai faktor empiris dalam kehidupan manusia. Ketika Montesquieu membahas penyebab suatu negara mempunyai perangkat hukum atau struktur sosial dan politik tertentu, dikatakan bahwa hal itu dikarenakan oleh 2 faktor penyebab utama yang membentuk watak masyarakat yaitu faktor fisik dan faktor moral. Montesque melihat adanya dua kekuatan yang bekerja dalam individu secara biologis; kekuatan egoistis yang mendorong manusia untuk menuntut hak-haknya, dan kekuatan moral yang membuatnya sebagai anggota dari kelompok sosial yang terikat pada berbagai kewajiban disamping adanya hak-hak. W. Friedmann, Op.Cit., hlm. 64

[22] Zulkarnaen, Op.Cit, hlm. 3

[23] Zulkarnaen, Op.Cit., hlm. 3

[24] Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, cet. VII (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996) hlm. 69. Lihat juga Lili Rasjidi, Teori dan Filsafat Hukum, Op.Cit., hlm. 65

[25] Ibid, hlm 65

[26] W. Friedmann, Op.Cit., hlm. 61

[27] Implikasi dari ajaran Savigni ini adalah penolakannya terhadap pengagungan akal seseorang. Cara pandang ini yang membedakan kaum realis dengan aliran historis. Kaum realis lebih mengedepankan prediksi waktu yang akan datang sedangkan aliran historis dianggap telah melakukan kesalahan karena terlalu mengagung-agungkan masa lampau. Ketidak percayaan terhadap pembuatan undang-undang terutama yang terkodifikasi menunjukkan adanya pandangan yang skeptis terhadap kemauan manusia dan meragukan keberhasilan manusia untuk menguasai dunianya. Satjipto Rahardjo, Op.Cit., hlm. 279

[28] Zulkarnaen, Op.Cit., hlm. 5

[29] W. Friedmann, Op.Cit., hlm. 67. salah satu aspek penting dari kehidupan modern adalah munculnya disiplin sosial baru yang dalam abad 19 secara umum menggeser semangat individualisme. Penyebabnya bermacam-macam dan penguraiannya lebih merupakan masalah sosial daripada masalah hukum

[30] Satjipto Rahardjo, Op.Cit., hlm. 280

[31] Ibid

[32] Zulkarnaen, Op.Cit., hlm. 5

[33] Perlu diingat bahwa munculnya teori baru, tidak serta merta akan menghilangkan pengaruh teori yang ada sebelumnya. Fenomena ini dijelaskan oleh Lakatos sebagai kerumitan asumsi-asumsi yang membentuk bagian lain dari struktur teori. Dalam program riset Lakatosian ada semacam sabuk pengaman yang melindungi inti pemikiran dari sebuah teori, itu sebabnya satu teori (hasil pemikiran) tidak akan musnah dan hilang begitu saja ketika teori lain muncul. Kemunculan satu teori disusul teori lainnya merupakan keragaman (kekayaan) dalam sebuah program riset. Otje Salman, Op.Cit., hlm. 3

[34] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Cet. II (Yogyakarta, Liberty,1986), hlm. 100

[35] Lili Rasjidi, Filsafat Hukum Apakah Hukum Itu, Cet. 5 (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1996), hlm. 71

[36] Zulkarnaen, Op.Cit., hlm. 7

[37] Lili Rasjidi, Op.Cit., hlm. 49

[38] Zulkarnaen, Op.Cit., hlm 7

[39] Ibid

[40] Ibid

[41] W. Friedmann, Op.Cit., hlm. 59

[42] Lili Rasjidi, Op.Cit, hlm. 42

[43] W.Friedman, Op.Cit., hlm 62

[44] Zulkarnaen, Op.Cit., hlm 8

Sumber: hukum.ummat.ac.id



Tidak ada komentar:

Posting Komentar